JAKARTA, DATAKITA.CO – Sesuai tahapan pencalonan pilkada 2020 yang akan berlangsung pada 09 Desember 2020 mendatang, proses politik bagi para kandidat yang berencana maju dan bertarung memperebutkan jabatan gubernur, bupati dan walikota pada 171 daerah nanti telah berlangsung keras.
Partai-partai yang memiliki hak kursi menjadi rebutan terutama yang memiliki jumlah kursi besar. Karena jarang parpol yang memiliki jumlah kursi penuh untuk mengusung sendiri maka kandidat harus mencari tambahan kursi alias berkoalisi dengan partai lain.
Perebutan kursi parpol untuk mendapat tiket bertarung berlangsung seru penuh intrik, saling sikut hingga saling begal dukungan. Namun proses rekrutmen yang carut-marut terhadap para calon pemimpin lokal pada Pilkada serentak di tiga Pilkada serentak sesuai perintah UU Pilkada nomor 8 tahun 2015 tampaknya terulang lagi pada proses pilkada serentak Desember 2020 mendatang.
Baca Juga :
Mahar politik, pembusukan terhadap kader sendiri, pengusungan terhadap kandidat non-kader atau kandidat
bekas terpidana dan penuh belitan kasus hukum tetap saja terjadi. Misal, pengusungan Vonny Anneke Panambunan yang juga kader Partai Nasdem sebagai calon Gubernur Sulawesi utara. Padahal Vonny adalah terpidana kasus korupsi bandara Loa Kulu, Kutai Kertanegara, Kalimantan
Timur dan dijatuhi vonis penjara 1 tahun 6 bulan.
Nagara Institute, lembaga kajian politik dan pemerintahan mengambil inisiatif untuk maju selangkah dengan meminta seluruh partai politik mengambil langkah progresif demi menyelamatkan demokrasi kita sekaligus mengembalikan kehormatan partai politik sendiri.
Riset Nagara Institute menemukan fakta bahwa terjadi hubungan yang kuat antara rekrutmen partai politik dalam Pilkada sebelumnya dengan performa kepala daerah yang sangat rendah.
Pragmatisme partai dihadapan kandidat yang super agresif atau sebaliknya semakin mengkhawatirkan.
Partai politik seakan melupakan bumi tempatnya berpijak yang bisa dilihat
dari perilaku melupakan kader sendiri dan memberi karpet merah kepada kader partai lain atau bahkan kepada figur yang tak jelas asal-usul dan identitas politiknya.
Agar model dan tata cara rekrutmen kandidat calon pemimpin lokal ini tidak semakin serampangan dan berdampak pada kualitas kehidupan sosial ekonomi dan politik daerah maka Nagara Institute mendesak partai politik mengambil langkah-langkah yang signifikan dalam menetapkan dan mencalonkan seseorang untuk menjadi gubernur, bupati dan walikota.
Desakan tersebut berupa surat dan kajian singkat Nagara Institute berisi rekomendasi kualifikasi yang perlu diterapkan oleh partai politik guna mengurangi dan sekaligus menghilangkan kerusakan yang ditimbulkan karenanya.
Proses kandidasi calon kepala daerah, demikian rilis Nagara Institute, seharusnya menjadi momen penguatan partai politik dalam menjalankan fungsi-fungsi input yang dimilikinya termasuk dalam hal rekrutmen.
Kandidasi calon pemimpin daerah adalah fase rekrutmen politik terbaik bagi parpol untuk menancapkan pengaruh berdasarkan agenda politiknya yang terangkum dalam platform partai.
Jika rekrutmen kandidasi ini bermasalah dan menjadi destruktif maka cepatatau lambat partai politik menanam ranjau waktu yang akan berdampak pada penguatan demokrasi kita secara keseluruhan.
Menurut Akbar Faizal, rekrutmen politik adalah gerbang utama sekaligus penentu kelayakan calon yang disajikan kepada rakyat. Kredibilitas partai menjadi taruhan karena kebobrokan pemimpin tidak akan dilepaskan dari partai pengusungnya.
“Riset Nagara Institute menunjukkan sebagian besar Kepala Daerah yang bermasalah secara hukum dan terjaring OTT KPK dan atau lembaga penegak hukum lainnya yakni Kejaksaan dan Polri tidak memiliki kualifikasi yang cukup. Bahkan kader pun bukan,” kata Akbar Faizal, Direktur Eksekutif Nagara Institute yang juga mantan anggota DPR-RI dua periode itu.
Rekomendasi Nagara Institute kepada para pimpinan parpol dan ditembuskan kepada Presiden, Ketua MPR, DPR dan DPD serta para pimpinan lembaga tinggi negara lainnya dan lembaga penegak hukum seperti Jaksa Agung, Polri dan Ketua KPK berisi tiga (3) poin desakan;
Pertama, hanya mencalonkan kader internal yang sekurang-kurangnya telah berproses dalam partai selama lima (5) tahun, dan atau pernah ditugaskan memperjuangkan ideologi partai dan
menutup pintu bagi kandidat non-kader. Ini sebagai bentuk kedisiplinan pada pengelolaan partai politik yang berbasiskan kader.
Meski seorang kader, namun harus memenuhi integritas politik, kapasitas politik dan kapabilitas politik. Termasuk didalamnya integritas hukum yang dikategorikan dalam cluster integritas
politik.
Partai politik tidak mengusung kandidat jika tidak tersedia sumber daya di internal parpol meski memiliki hak dan kesempatan mengusung kandidat.
Penjelasan tentang tiga (3) kualifikasi politik tadi adalah, memiliki integritas politik, yang maksudnya adalah seorang calon kepala daerah harus memiliki kehormatan tentang diri dan keluarganya dihadapan sosial dalam pergaulan hukum (integritas hukum) dan bisa diidentifikasi pada track recordnya sebagai manusia politik.
Juga ketaatan terhadap agama dan keyakinan yang dianutnya bisa dipertanggungjawabkan. Faktor fundamental religius ini sangat penting dalam memandu seseorang kepala daerah melaksanakan tugas dan tanggungjawab politiknya kelak sebagai kepala daerah.
Kedua, memiliki kapasitas politik dimana seorang calon kepala daerah harus memenuhi dua variabel yakni, memiliki kompetensi akademik dan kompetensi praktis. Pada kompetensi akademis, seorang calon kepala daerah haruslah memiliki latar belakang akademik yang baik, memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap demokrasi dan pemerintahan yang cukup.
Kecerdasan akademis akan membuat seorang kepala daerah mampu mengukur kualitas dirinya dalam bentuk kinerja yang terukur serta kecakapan yang mumpuni dalam merancang akselerasi pembangunan daerahnya.
Sementara, kompetensi praktis akan membuat seorang kepala daerah
kelak tidak lagi membutuhkan uji coba dalam pelaksanaan tugasnya sebab seorang kepala daerah terpilih sebenarnya tidak lagi memiliki waktu untuk sekadar melakukan uji coba kemampuan.
Ketiga, memiliki kapasitas politik, yakni kemampuan dan pengalaman politik dalam berbagai bidang terkhusus sosial ekonomi politik agar kepala daerah yang terpilih kelak tidak lagi menghabiskan waktu menghadapi masalah politik yang timbul akibat kelemahan mengelola
segala sumber daya politik yang ada di daerahnya.
Rekomendasi Nagara ini bertolak dari catatan hitam kepala daerah hasil tiga pilkada serentak tahun 2015, 2017 dan 2018 lalu. Dalam hal tindak korupsi dan dicokok oleh KPK serta telah mendapatkan putusan tetap pengadilan ditemukan 56 kepala daerah baik gubernur, bupati dan walikota.
Terbanyak, bupati sebesar 74% dan walikota serta gubernur masing-masing 13%. Temuan lainnya adalah para kepala daerah yang bermasalah ini terbanyak bukanlah kader internal partai. Belum lagi tindakan tercela lainnya yang semakin mencederai demokrasi kita berupa kolusi dan nepotisme.
“Ini menunjukkan realita antara perbuatan tercela korupsi dengan proses rekrutmen tidak bisa dipisahkan dan parpol seharusnya ikut bertanggungjawab. Rekomendasi Nagara ini adalah jalan menuju perbaikan atas kerusakan dari kesalahan rekrutmen calon kepala daerah selama ini,” tegas Akbar Faizal.
Ditambahkannya, kesan defensif parpol bahwa tak ada larangan mengusung non-kader tidak lagi relevan dengan melihat tingkat kerusakan yang ditimbulkannya.
Nagara Institute berharap parpol
melakukan lompatan besar dalam tata kelola rekrutmen politik khususnya dalam penyiapan usungan calon-calon kepala daerah sebab berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat di daerah dan sekaligus membunuh proses kaderisasi yang sejatinya dilakukan dengan disiplin oleh partai politik.
Perilaku mengklaim kader terhadap para pemburu kekuasaan dengan semata mengacu pada kepemilikan kartu tanda anggota (KTA) adalah pengkhianatan terhadap diri partai politik itu sendiri.
Catatan Nagara Institute dengan menggunakan data penegakan hukum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hasil tiga pilkada serentak lalu menemukan 56 kepala daerah
yang dicokok karena korupsi.
PDIP menempatkan usungannya pada urutan pertama terbanyak yang bermasalah dan ditindak oleh KPK yakni sebesar 14% persen (24 orang) kepala daerah diberbagai tingkatan dari gubernur, bupati dan walikota.
Menyusul PKS (12%) atau sebanyak 21 orang kepala daerah, lalu Partai Golkar (11%) sebanyak 18 orang kepala daerah dan selanjutnya Partai Nasdem (10%) sebanyak 17 kepala daerah. Sementara Partai Gerindra Demokrat menyumbang masing-masing 16 orang kepala daerah dan PAN sebanyak 15 orang kepala daerah yang juga tersebar pada tiga jabatan publik tersebut. (*)
Komentar